Kementerian BUMN, dalam beberapa kesempatan membenarkan perihal desas-desus PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang berada dalam masa krisis. Kabar tersebut ramai setelah maskapai pelat merah tersebut diketahui terlilit hutang hingga puluhan triliun rupiah. Ancaman kebangkrutan terjadi karena beberapa faktor, salah satunya kesalahan bisnis Garuda Indonesia yang menjadi penyumbang kerugian terbesar.
Dikutip dari Kompas.com, dalam rapat Komisi VI DPR RI, Menteri BUMN beserta wakilnya memaparkan beberapa faktor yang melatarbelakangi kasus carut-marut keuangan Garuda Indonesia. Berikut faktor-faktor dan rencana penyelesaian masalah yang telah dirancang:
1. Harga Sewa (Leasing) Pesawat Terlalu Mahal
Salah satu faktor yang menyebabkan kerugian pada tubuh Garuda Indonesia adalah harga sewa pesawat yang terlalu tinggi. Bahkan, Garuda menjadi maskapai dengan leasing termahal, mencapai 28% dari rata-rata dunia. Kerugian akibat biaya sewa ini tidak serta-merta muncul. Ada campur tangan dari kejadian puluhan tahun lalu terkait kasus korupsi lessor bermasalah.
Sebagai rencana penanganan, kedepannya pihak Garuda akan lebih memperketat regulasi terkait pemilihan lessor. Tujuannya untuk meminimalisir adanya lessor nakal yang memainkan harga sewa di luar batas wajar. Selain itu, pihak Garuda juga akan melakukan beberapa negosiasi untuk menurunkan harga sewa pesawat.
2. Pengelolaan Pesawat Tidak Efisien
Selain patokan leasing yang memang diluar batas wajar, membengkaknya harga sewa pesawat juga diperburuk oleh pengelolaan yang kurang efisien. Tercatat ada beberapa jenis pesawat yang dimiliki Garuda Indonesia. Mulai dari tipe Boeing 737-777, A330, A320, ATR, hingga Bombardier.
Jenis pesawat yang terlalu banyak ini memberi kerugian tersendiri secara internal. Pihak manajemen Garuda Indonesia menjadi kewalahan dan kurang efisien dalam mengelolanya. Akibatnya, kerugian menjadi hal mutlak karena harga sewa dan operasional yang membengkak.
3. Bisnis Model yang Dipilih Kurang Tepat
Kesalahan bisnis Garuda Indonesia yang menyumbang kerugian terbesar adalah pemilihan bisnis model yang kurang tepat sasaran. Berdasarkan data kepariwisataan nasional, lebih dari 78% perjalanan udara dilakukan oleh turis domestik. Artinya, peluang maskapai terhadap penerbangan domestik lebih menjanjikan daripada rute internasional. Sayangnya, Garuda malah melakukan langkah sebaliknya.
Pembukaan rute penerbangan internasional yang selama ini dilakukan rupanya tidak berjalan baik. Tidak memberi keuntungan, malah semakin menambah beban kerugian. Dari catatan data, penerbangan internasional hanya menyumbang 22% saja. Berbeda dengan rute domestik yang mencapai 78% atau setara 1.400 triliun rupiah.
4. Kerugian Bulanan Selalu Besar
Setiap bulan, kerugian yang harus ditanggung Garuda Indonesia terus bertambah. Besaran kerugian mencapai 100 juta dollar AS atau setara 1,429 triliun rupiah. Jumlah ini akan terus meningkat selama sistem operasional maskapai tersebut belum dibenahi. Hal ini juga diperparah selama masa pandemi, jumlah penumpang yang berkurang drastis semakin mempersulit pemasukan maskapai.
Perencanaan solusi penanganan masalah tersebut sebenarnya sudah disusun. Pihak maskapai Garuda Indonesia kedepannya akan lebih berfokus pada pasar domestic dengan kemungkinan perputaran dana lebih cepat. Selain itu, pemaksimalan juga akan dilakukan pada bisnis kargo. Melihat peluang pengiriman barang/jasa kargo saat masa pandemi yang semakin meningkat seiring waktu.
5. Skema Restrukturisasi Utang Beresiko Besar
Selain rencana perbaikan sistem pengelolaan bisnis model, upaya mengembalikan kondisi Garuda juga diupayakan dari pengajuan skema restrukturisasi utang emiten. Resiko kebangkrutan tidak bisa dihindari, jika pihak kreditur tidak menyetujui skema restrukturisasi tersebut. Sebagai pemegang saham terbesar, kementerian BUMN terus berupaya untuk mengatasi masalah utang maskapai meski berisiko besar.
Perihal rencana restrukturisasi, hal tersebut telah mendapat persetujuan dari sejumlah BUMN dengan dilakukannya penandatanganan surat perjanjian. Beberapa BUMN yang turut andil dalam perjanjian tersebut diantaranya PT. Pertamina dan PT. Angkasa Pura I & II.
Itulah beberapa faktor kesalahan bisnis Garuda Indonesia yang dialami sejak puluhan tahun silam. Perubahan sistem dan tata kelola maskapai penerbangan kebanggan Indonesia ini sangat diharapkan. Kedepannya, semoga Garuda Indonesia bisa kembali bangkit dari keterpurukan dan mengulang masa kejayaan seperti tempo dulu.